A. Pendahuluan
Allah
mengutus Nabi Muhammad Saw ke dunia ini sebagai Rahmatan Lil `alamin. Pengutusan
Rasulullah Saw telah memberi dampak yang luar biasa di kalangan Bangsa Arab, Segala
problema hidup yang dihadapi sahabat langsung beliau selesaikan saat itu juga
dengan sangat bijak dan adil. Sahabat sangat merasa puas ketika ada masalah,
langsung menanyakan kepada Nabi Muhammad Saw.
Pada
masanya, Rasulullah Saw juga berijtihad terhadap hal/peristiwa yang ditanyakan
para sahabat. Adakalanya Rasulullah tidak berijtihad namun menunggu turunnya
wahyu dari Allah Swt. Apakah sahabat juga berijtihad ketika ada Rasulullah?
Tentu ada juga diantara para sahabat yang berijtihad ketika posisi mereka jauh
dari Rasulullah seperti pada peristiwa Perang Khandak. Dari hal demikian,
ijtihad ini terus berjalan, berkembang dan menjadi tradisi diantara para
sahabat, Tabi`in, Tabi`-Tabi`in, Ulama Shalaf dan generasi-generasi selanjutnya
sampai sekarang.
Ijtihad
ialah mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama (
syara`), melalui salah satu dalil syara` dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil syara`
dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan kemampuan
sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dikatakan ijtihad.
Dari pengertian tersebut kita dapat memahami, bahwasanya ijtihad selalu
diperlukan terkait dengan hal-hal yang belum terdapat kejelasan hukum baik dari
Al-Qur`an maupun As-Sunnah.
Membahas mengenai Ijtihad tentu sangat luas,
namun disini penulis hanya membatasi pembahasan mengenai pengertian ijtihad,
tradisi ijtihad pada masa Rasulullah, masa sahabat, masa tabi`in, masa
tabi`-tabi`in dan Ijtihad masa imam mujtahid dan mazhab sebagai hasil ijtihad beserta
dengan contohnya masing-masing.
B. Pembahasan
1. Pengertian Ijtihad
Kata Ijtihad berasal dari bahasa arab اجتهد – يجتهد - اجتهادا yang berarti berusaha keras. Menurut
Mukhtar Yahya, Ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan berpikir untuk
mengeluarkan hukum syar`i dari dalil-dalil syara` yaitu Al-Qur`an dan
As-Sunnah. Orang-orang yang mampu menetapkan hukum suatu peristiwa dengan jalan
ini disebut Mujtahid.
Dari
pengertian diatas dapat dipahami bahwa ijtihad merupakan suatu usaha manusia
yang mencurahkan kemampuan berpikirnya dalam mengkaji berbagai disiplin ilmu
Al-qur`an dan Hadits untuk mengeluarkan sebuah hukum. Dikarenakan hukum yang
dikeluarkan ini untuk kemaslahatann manusia, maka seorang mujtahid perlu
memiliki persyaratan yang diantaranya yaitu :
1.
Mengetahui ilmu bahasa arab dengan segala cabangnya.
2.
Mengetahui Nash-nash A -Qur`an perihal hukum syariat.
3.
Mengetahui Nash-nash Hadist yang berhubungan dengan hukum syara`.
4.
Mengetahui masalah-masalah yang hukumnya telah
disepakati ulama (ijmak Ulama).
5.
Mengetahui segi-segi pemakaian qias, seperti
mengetahui illat dan hikmah penetapan hukum.
6.
Mengetahui `Urf orang banyak dan jalan-jalan
yang dipandang dapat mendatangkan kebaikan dan keburukan.
7.
Mengetahui Ushul Fikh.
8.
Mengetahui Qawa`idil Fiqhiyah.
9.
Mengetahui Asrarusy Syari`ah ( Rahasia-rahasia
tasyri`).
10. Pandai menyelesaikan
nash-nash yang berlawanan.
Persyaratan di atas merupakan
syarat-syarat Mujtahid Mutlaq yaitu orang-orang yang berkemampuan
mengijtihadkan seluruh masalah syariat yang hasilnya diikuti dan dijadikan
pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Disamping itu masih
terdapat mujtahid-mujtahid dibawahnya yaitu mujtahid fil-mazhab, mujtahid
fil-masa`il dan mujtahid muqayyad.
2. Tradisi Ijtihad
Dari Masa ke Masa
a. Ijtihad pada Masa
Rasulullah SAW
Allah telah menetapkan pada diri Nabi Muhammad Saw Uswatun
Hasanah, contoh teladan yang baik bukan saja dalam perilaku, namun juga
dalam perkataan dan persetujuan, Sehingga kita mengenal adanya Hadits Nabi
Muhammad Saw. Keagungan Akhlak Rasulullah mencakup seluruh aspek kehidupan,
baik sebagai kepala keluarga, pemimpin umat, panglima perang, kepala
pemerintahan dan lain sebagainya. Dengan hal demikian, suatu hal atau peristiwa
yang dialami sahabat yang belum ada ketentuan hukum, sahabat langsung bertanya
kepada Nabi dalam penyelesaiannya.
Pada masa Nabi Muhammad Saw, apabila suatu
pertanyaan atau suatu peristiwa yang belum ada hukumnya, maka Nabi menunggu
wahyu turun. Kemudian adakalanya wahyu pun turun untuk menerangkan hukum
tersebut. Apabila wahyu belum turun, Nabi pun berijtihad dengan berpedoman
kepada ruh syariat, kemaslahatan ummat dan permusyarawatan, dan jika ijtihad
Nabi tidak tepat atau tidak benar, maka segera turun wahyu untuk
membetulkannya. Jadi ijtihad pada masa Nabi pun sebenarnya sudah berlaku,
walaupun dalam lapangan yang sangat terbatas, mengingat wahyu masih turun.
Contoh Ijtihad Rasulullah yaitu Rasulullah
bermusyawarah dengan para sahabat dalam menyelesaikan tawanan perang Badar.
Dalam sidang Umar mengusulkan agar tawanan Badar itu dibunuh. Sedang Abu Bakar
menyarankan agar mereka menebus diri dan Rasul menerima uang tebusan. Dari dua
pendapat yang berbeda itu akhirnya Rasul menetapkan sesuai dengan pendapat Abu
Bakar, yaitu menerima tebusan.
Meskipun
sudah ada peluang ijtihad pada masa Rasul, namun Rasul seringkali menerima
wahyu dari Allah mengenai hal/peristiwa yang belum tersebut ketentuan hukumnya.
Al-Quran yang turun secara berangsur-angsur, salah satu alasannya yaitu turun
menurut suatu peristiwa yang terjadi saat itu. Ini memberi makna bagi umat
manusia bahwa Allah telah memberi dua pedoman hidup bagi manusia yaitu
Al-Qur`an dan Hadist Rasulullah Saw, Allah juga telah menjamin hidup seseorang
tidak akan sesat apabila masih berpegang kepada keduanya.
b. Ijtihad pada Masa Shahabat
Ijtihad pada masa
Shahabat sangatlah banyak menurut kebutuhan yang di perlukan saat itu. Para
shahabat mengandalkan hafalan Ayat-ayat Al-Qur`an yang mereka hafal, perkataan,
perbuatan dan persetujuan Nabi. Maka semenjak ada Rasulullah saja sudah terjadi
ijtihad dikalangan para shahabat apalagi ketika wafatnya Rasulullah.
Pada masa hidup
Rasulullah Saw para sahabat sudah berijtihad yaitu ketika sahabat berada jauh
dengan Nabi, sedangkan saat itu para sahabat sangat butuh jawaban sehingga
sahabat berijtihad. Sebagai contoh yaitu ketika ada dua shahabat keluar kota
atau menjadi musafir. Saat keduanya tidak menemukan air, maka mereka melakukan
tayamum sebagaimana yang mereka ketahui dari ayat Al-Qur`an, Fatayammamu
sha`idan thayyiban, dan mereka terus melakukan salat. Namun, saat keduanya
menemukan air disaat waktu salat masih ada, maka keduanya berijtihad, sehingga
dua orang tersebut berbeda dalam pemahaman dan implementasinya. Salah satu
sahabat, mengulangi salat ketika menjumpai air dan masih ada waktu dan sahabat
satu lagi tidak mengulangi salat dengan alasan sudah berpedoman kepada
Al-Qur`an dan Hadits.
Kedua sahabat tersebut
menghadap Rasulullah Saw, menanyakan hasil ijtihad mereka. Lalu Rasulullah
menjawab, bagi yang mengulangi salatnya mendapat dua pahala dan yang tidak
mengulangi salat dapat satu pahala. Begitulah indahnya Rasulullah memberi
penilaian terhadap dua sahabat yang telah melakukan ijtihad.
Tradisi pada masa
shahabat hanya terbatas pada fatwa –fatwa yang difatwakan oleh orang yang ditanya
tentang suatu peristiwa. Kereka tidak mengembangkan dan memperluas permasalahan
dari apa yang diperlukan saja. Mereka tidak membicarakan
pengandaian-pengandaian yang belum terjadi. Bahkan mereka kurang
menyenanganinya, karena dikhawatirkan salah dalam penetapan hukumnya, walaupun
dibenarkan melalui ijtihad.
c. Ijtihad pada Masa
Tabi`in dan Tabi`-Tabi`in
Fukaha periode Tabi`in berbeda
dengan Fukaha pada periode sahabat. Para Tabi`in tidak pernah berjumpa dengan
Rasulullah Saw sehingga mereka menerima dakwah dan pendidikan dari para
sahabat, sedangkan fukaha dimasa Tabi` Tabi`in (Mujtahidin) menerima dakwah dan
pendidikan Isalam dari para Tabi`in. Diantara fukaha di masa Tabi`in ialah Said
bin Musayyad al-Makhzumi, Ali Bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Muhammad bin
Muslim Ibnu Syihab al-Zuhri dan lain-lain. Adapun ahli fiqh (fukaha) di masa
Tabi`-Tabi`in yaitu Imam Abu Hanifah (kufah), Imam Malik (Madinah), Imam
Syafi`i (Makkah), Imam Ahmad bin hambal (Baghdad).
Pada masa shahabat,
orang-orang yang memegang peranan dalam memperkembangkan hukum Islam hanya para
shahabat saja, akan tetapi setelah masa shahabat berakhir, maka peranan
seluruhnya dipegang oleh Tabi`in yang kemudian dilanjutkan oleh Tabi` Tabi`in
sebagai pewaris ilmu-ilmu shahabat. Periode
Tabi`in dimulai dari masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sofyan dan berakhir
pada awal abad II H, seiring dengan berakhirnya dinasti Umayah. Sedangkan
periode Tabi` Tabi`in dimulai kurang lebih dengan dimulai berkuasa Abu Abbas (
Pendiri Dinasti Abbasiyyah).
Masa Tabi`in dan Tabi` Tabi`in atau
masa mujtahidin dikenal dengan fase pembinaan dan pembukuan hukum Islam yang
berlangsung kurang lebih 250 tahun lamanya. Fase ini disebut juga fase
keemasan, karena hukum Islam pada masa ini mengalami perkembangan dan kemajuan
yang pesat. Penulisan dan pembukuan terhadap hukum Islam dengan giat dilakukan.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan hukum Islam berkembang pesat
masa Tabi`in adalah daerah kekuasaan Islam telah luas, karya-karya dari masa
sebelumnya dan muncul tokoh-tokoh besar
3. Mazhab sebagai
hasil Ijtihad
Mazhab adalah hasil
ijtihad seorang imam mujtahid Mutlak tentang hukum suatu masalah atau tentang
kaidah-kaidah istinbath. Karena mazhab merupakan hasil dari ijtihad, maka
bermazhab merupakan mengikuti hasil ijtihad
seorang imam mujtahid yang lebih diyakini. Mengikuti salah satu mazhab
tentu hal yang sangat wajar dilakukan karena terbatasnya kemampuan ilmu yang
kita miliki sebagaimana yang dimilili para imam mujtahid.
Salah satu problem
besar yang dihadapi oleh umat Islam yaitu Ikhtilaf atau perbedaan. Perbedaan
umat mencakup bidang fiqh/mazhab politik, pemikiran, akhlak. Indonesia, keempat
jenis ikhtilaf di atas sudah ada. Namun yang paling dominan dalam menyebabkan
lahirnya perpecahan adalah perbedaan dalam bidang fiqh. Namun belakangan perpecahan ini
merambah ke bidang pemikiran sudah mulai ramai bermunculan di mayarakat.
Oleh karenanya sebagai
strategi agar tidak sampai mengakibatkan perpecahan, para ulama Mukhlish sejak
dahulu berusaha melakukan perluasan pemahaman wawasan perbandingan mazhab.
Memahami perbandingan mazhab akan menghilangkan jiwa ujub ( Membanggakan diri),
kibr ( Sombong), ananiyah ( keakuan dan egois) sehingga memiliki jiwa tasamuh (
toleransi), menghormati orang lain. Dengan demikian, ukhuwah Islamiyah tidak akan retak hanya karena perbedaan mazhab
dan pemikiran namun yang perlu dipertegas adalah bahwa ikhtilaf berbeda dengan
iftirak. Ikhtilaf berarti perbedaan pendapat, sedangkan iftirak berarti
perpecahan yang dapat melahirkan firkah-firkah (golongan-golongan).
Perbedaan pendapat hasil ijtihad
dalam bidang fikh dikalangan ulama/imam Mujtahid tidaklah menjadi sebuah urusan
yang besar, dikarenakan imam yang empat tersebut sama-sama merujuk kepada
Al-Qur`an dan Hadits serta Ijma` dan Qiyas. Namun perbedaan dalam hal beraqidah,
telah menjadi polemik yang sangat berkepanjangan dalam sejarah Islam sampai
sekarang.
Peluang untuk berijtihad dibuka
selebar-lebarnya, namun ijtihad tetap dibatasi dengan beberapa kriteria. Dr.
Yusuf Qardhawi menyebutkan tiga tingkatan kriteria dalam ijtihad, yaitu:
1. Dharuriyah
(Primer), yaitu hal-hal yang penting yang harus dipenuhi untuk kelansungan
hidup manusia. Bila hal tersebut tak terpenuhi maka akan terjadi kerusakan,
kerusuhan dan kekacauan, Misalnya demi memelihara jiwa, agama, harta, akal dan
keturunan.
2. Hajjiyat
(sekunder), yaitu hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia dalam hidupnya. Bila hal
tersebut tak terpenuhi,maka manusia akan selalu dihinggapi kesulitan dan
kesempitan. Misalnya memberikan rukhsah (keringanan) dalam kesempitan dan
kesulitan.
3. Taksinat,
yaitu hal-hal pelengkap yang terdiri atas kebiasaan dan akhlak yang baik.
Jiwa ketiga tingkatan kriteria
ijtihad itu merupakan pancaran nur Al-Qur`an, yakni rahmat, sebagaimana telah
dijelaskan oleh Allah dalam surat Al-Anbiya ayat 107, sebagai berikut:
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Artinya :” dan
Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. 21:107).
Tujuan
Allah mengutus Nabi Muhammad yaitu sebagai rahmat bagi sekalian alam, pemberi
kabar gembira dan kedamaian. Siapa saja yang berpegang teguh kepada Al-Qur`an
dan Hadist, Allah jamin tidak sesat selamanya. Berpegang teguh disini artinya menjadikan
Al-Qur`an dan Hadist sebagai pedoman dalam kehidupan. Demikian juga para Imam
Mujtahid menjadikan Al-Qur`an dan Hadist sebagai sumber rujukan hukum yang
utama.
Tradisi
Ijtihad antara Imam Mujtahid yang empat terdapat persamaan dan perbedaan dalam
cara-cara menggali hukum dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Persamaan dalam memakai dan mempergunakan Al-Qur`a untuk menjadi dasar hukum.
Setiap beliau yang berempat ini sama halnya, yakni mula-mula sekali melihat dan
menari hukum dalam Al-Qur`an. Kalau dalam satu masalah yang terjadi ada
hukumnya dalam Al-Qur`an,syukur, tetapi kalau tidak ada maka beliau-beliau itu
pindah kepada yang kedua, yaitu Hadits / Sunnah Rasul.
Tidak
ada dari Imam yang berempat ini yang enggan memakai Hadits untuk menjadi dasar
hukum, karena dalam Al-Qur`an banyak sekali ayat – ayat yang menyuruh untuk
mengikut Allah dan Rasul. Mereka sepakat bahwa barang siapa yang tidak mau
mengikut Rasul, maka orang itu kafir,
diluar dari lingkungan Islam. Hanya karena situasi Hadits berbeda dengan
situasi Al-Qur`an yakni Al-Qur`an sudah termaktub sedangkan Hadits belum
termaktub, melainkan terletak di dada para Ulama dan pindah dari yang satu
kepada yang lain. Maka dalam cara memakai Hadits itu terdapat perbedaan
pendapat antara Imam yang empat tersebut, yaitu:
a. Imam Hanafi berpendapat bahwa Hadits yang
akan dipakai menjadi dasar hukum, haruslah Hadits yang kuat saja, yang tinggi
derajat sahihnya bahkan lebih baik yang mutawatir ( yang banyak orang
merawikannya). Kalau tidak ada Hadits yang macam itu lebih baik pindah saja
“ra`yi” kepada qiyas, karena mengambil dasar hukum dengan pendapat (qiyas)
lebih terjamin kebenarannya dari mengambil dasar hukum dengan Hadits-hadits
yang diragukan dan kurang tepat.
b. Imam Maliki berpendapat bahwa dasar hukum
yang kedua adalah Hadits, sesuai dengan pendapat imam Hanafi. Tetapi kalau
umpamanya berlawanan sebuah Hadits dengan “amalan orang Madinah”, maka yang
didahulukan memakainya ialah “amalan orang Madinah”
c. Imam Syafi`i Rhl. Berpendapat bahwa
hadits-hadits diutamakan pengambilannya, baik dibanding dengan “Ra`yi” maupun
dibanding dengan “amal perbuatan orang Madinah”. Ra`yi atau pendapat begitu
juga dengan amal ahli Madinah tidak laku kalau bertentangan dengan Hadits.
d. Imam Hambali berpendapat, bahwa kalau tidak
terdapat hukum sesuai dengan Al-Qur`an. Maka carilah dalam Hadits Nabi, sekali
lagi Hadits Nabi. Andaikata ada pendapat atau perbuatan dari sahabat Nabi, dari
Tabi`in atau dari siapapun yang menentang Hadits, maka pendapat atau amal orang
itu tidak dihiraukan. Yang dipegang adalah hadits.
C. Kesimpulan
Tradisi
berijtihad telah ada semenjak Rasulullah Saw terhadap persoalan atau
kejadian-kejadian yang belum turun wahyu dari Allah. Rasulullah menjawab setiap
persioalan dan kejadian yang dialami para sahabat dengan turunnya wahyu Allah
mengenai hal tersebut dengan perantaraan Malaikat Jibril. Pada masa Rasulullah
juga para sahabat sudah ada yang berijtihad, jika sahabat sedang jauh dengan
Rasulullah.
Selanjutnya
ijtihad terus terpelihara pada masa sahabat, dengan hafalan Al-Qur`an dan
hadits para sahabat berijtihat terhadap suatu masalah yang mereka alami.
Demikian juga para Tabi`in dan Tabi`-Tabi`in yang mana saat itu telah muncul
beragam perkembangan pengetahuan, luasnya wilayah, muncul tokoh-tokoh hebat
menjadikan suasana saat itu luar biasa dalam hal berijtihad untuk mengeluarkan
hukum-hukum yang dibutuhkan saat itu.
Dalam sejarah telah muncul 4 Imam Mujtahid Mutlaq yaitu
Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi`i dan Imam Hambali. Selain itu juga ada
mujtahid yang lain seperti mujtahid fil-mazhab, mujtahid fil-masa`il dan
mujtahid muqayyad. Para mujtahid ini adalah mengikuti kepada imam Mujtahid
Mutlaq. Para Imam Mujtahid tersebut telah menorehkan kemampuannya masing-masing
yang luar biasa sebagai jalan/pegangan hidup generasi sesudahnya atau di kenal
dengan istilah mazhab. Ada kebesaran hati tersendiri diantara Imam Mujtahid,
yang mana beliau tidak menyalahkan satu sama lain. Jika ada pendapat beliau
yang tidak sesuai dengan Al-Qur`an dan Hadits boleh ditinggalkan dan mengambil
pendapat yang lebih sesuai.
D. Saran-saran
Semoga makalah yang
singkat ini bisa menjadi bahan renungan buat penulis sendiri dan rekan-rekan
semua. Makalah ini jauh dari sempurna sehingga penulis mengharapkan masukan
yang membangun dari dosen pengampu dan rekan-rekan mahaiswa semuanya