Sunday, October 29, 2017

makkalah SPI

A. Pendahuluan
            Allah mengutus Nabi Muhammad Saw ke dunia ini sebagai Rahmatan Lil `alamin. Pengutusan Rasulullah Saw telah memberi dampak yang luar biasa di kalangan Bangsa Arab, Segala problema hidup yang dihadapi sahabat langsung beliau selesaikan saat itu juga dengan sangat bijak dan adil. Sahabat sangat merasa puas ketika ada masalah, langsung menanyakan kepada Nabi Muhammad Saw.
            Pada masanya, Rasulullah Saw juga berijtihad terhadap hal/peristiwa yang ditanyakan para sahabat. Adakalanya Rasulullah tidak berijtihad namun menunggu turunnya wahyu dari Allah Swt. Apakah sahabat juga berijtihad ketika ada Rasulullah? Tentu ada juga diantara para sahabat yang berijtihad ketika posisi mereka jauh dari Rasulullah seperti pada peristiwa Perang Khandak. Dari hal demikian, ijtihad ini terus berjalan, berkembang dan menjadi tradisi diantara para sahabat, Tabi`in, Tabi`-Tabi`in, Ulama Shalaf dan generasi-generasi selanjutnya sampai sekarang.
            Ijtihad ialah mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama ( syara`), melalui salah satu dalil syara` dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil syara` dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan kemampuan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dikatakan ijtihad.[1] Dari pengertian tersebut kita dapat memahami, bahwasanya ijtihad selalu diperlukan terkait dengan hal-hal yang belum terdapat kejelasan hukum baik dari Al-Qur`an maupun As-Sunnah.
Membahas mengenai Ijtihad tentu sangat luas, namun disini penulis hanya membatasi pembahasan mengenai pengertian ijtihad, tradisi ijtihad pada masa Rasulullah, masa sahabat, masa tabi`in, masa tabi`-tabi`in dan Ijtihad masa imam mujtahid dan mazhab sebagai hasil ijtihad beserta dengan contohnya masing-masing.

B. Pembahasan
1. Pengertian Ijtihad
            Kata Ijtihad berasal dari bahasa arab اجتهد – يجتهد - اجتهادا yang berarti berusaha keras.[2] Menurut Mukhtar Yahya, Ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan berpikir untuk mengeluarkan hukum syar`i dari dalil-dalil syara` yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah. Orang-orang yang mampu menetapkan hukum suatu peristiwa dengan jalan ini disebut Mujtahid.[3]
            Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa ijtihad merupakan suatu usaha manusia yang mencurahkan kemampuan berpikirnya dalam mengkaji berbagai disiplin ilmu Al-qur`an dan Hadits untuk mengeluarkan sebuah hukum. Dikarenakan hukum yang dikeluarkan ini untuk kemaslahatann manusia, maka seorang mujtahid perlu memiliki persyaratan yang diantaranya yaitu :
1.      Mengetahui ilmu bahasa arab dengan segala cabangnya.
2.      Mengetahui Nash-nash A -Qur`an perihal hukum syariat.
3.      Mengetahui Nash-nash Hadist yang berhubungan dengan hukum syara`.
4.      Mengetahui masalah-masalah yang hukumnya telah disepakati ulama (ijmak Ulama).
5.      Mengetahui segi-segi pemakaian qias, seperti mengetahui illat dan hikmah penetapan hukum.
6.      Mengetahui `Urf orang banyak dan jalan-jalan yang dipandang dapat mendatangkan kebaikan dan keburukan.
7.      Mengetahui Ushul Fikh.
8.      Mengetahui Qawa`idil Fiqhiyah.
9.      Mengetahui Asrarusy Syari`ah ( Rahasia-rahasia tasyri`).
10.  Pandai menyelesaikan nash-nash yang berlawanan.[4]

Persyaratan di atas merupakan syarat-syarat Mujtahid Mutlaq yaitu orang-orang yang berkemampuan mengijtihadkan seluruh masalah syariat yang hasilnya diikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Disamping itu masih terdapat mujtahid-mujtahid dibawahnya yaitu mujtahid fil-mazhab, mujtahid fil-masa`il dan mujtahid muqayyad.
2. Tradisi Ijtihad Dari Masa ke Masa
a. Ijtihad pada Masa Rasulullah SAW
            Allah telah menetapkan pada diri Nabi Muhammad Saw Uswatun Hasanah, contoh teladan yang baik bukan saja dalam perilaku, namun juga dalam perkataan dan persetujuan, Sehingga kita mengenal adanya Hadits Nabi Muhammad Saw. Keagungan Akhlak Rasulullah mencakup seluruh aspek kehidupan, baik sebagai kepala keluarga, pemimpin umat, panglima perang, kepala pemerintahan dan lain sebagainya. Dengan hal demikian, suatu hal atau peristiwa yang dialami sahabat yang belum ada ketentuan hukum, sahabat langsung bertanya kepada Nabi dalam penyelesaiannya.
Pada masa Nabi Muhammad Saw, apabila suatu pertanyaan atau suatu peristiwa yang belum ada hukumnya, maka Nabi menunggu wahyu turun. Kemudian adakalanya wahyu pun turun untuk menerangkan hukum tersebut. Apabila wahyu belum turun, Nabi pun berijtihad dengan berpedoman kepada ruh syariat, kemaslahatan ummat dan permusyarawatan, dan jika ijtihad Nabi tidak tepat atau tidak benar, maka segera turun wahyu untuk membetulkannya. Jadi ijtihad pada masa Nabi pun sebenarnya sudah berlaku, walaupun dalam lapangan yang sangat terbatas, mengingat wahyu masih turun.[5]
Contoh Ijtihad Rasulullah yaitu Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabat dalam menyelesaikan tawanan perang Badar. Dalam sidang Umar mengusulkan agar tawanan Badar itu dibunuh. Sedang Abu Bakar menyarankan agar mereka menebus diri dan Rasul menerima uang tebusan. Dari dua pendapat yang berbeda itu akhirnya Rasul menetapkan sesuai dengan pendapat Abu Bakar, yaitu menerima tebusan. [6]
            Meskipun sudah ada peluang ijtihad pada masa Rasul, namun Rasul seringkali menerima wahyu dari Allah mengenai hal/peristiwa yang belum tersebut ketentuan hukumnya. Al-Quran yang turun secara berangsur-angsur, salah satu alasannya yaitu turun menurut suatu peristiwa yang terjadi saat itu. Ini memberi makna bagi umat manusia bahwa Allah telah memberi dua pedoman hidup bagi manusia yaitu Al-Qur`an dan Hadist Rasulullah Saw, Allah juga telah menjamin hidup seseorang tidak akan sesat apabila masih berpegang kepada keduanya.
b. Ijtihad pada Masa Shahabat
Ijtihad pada masa Shahabat sangatlah banyak menurut kebutuhan yang di perlukan saat itu. Para shahabat mengandalkan hafalan Ayat-ayat Al-Qur`an yang mereka hafal, perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi. Maka semenjak ada Rasulullah saja sudah terjadi ijtihad dikalangan para shahabat apalagi ketika wafatnya Rasulullah.
Pada masa hidup Rasulullah Saw para sahabat sudah berijtihad yaitu ketika sahabat berada jauh dengan Nabi, sedangkan saat itu para sahabat sangat butuh jawaban sehingga sahabat berijtihad. Sebagai contoh yaitu ketika ada dua shahabat keluar kota atau menjadi musafir. Saat keduanya tidak menemukan air, maka mereka melakukan tayamum sebagaimana yang mereka ketahui dari ayat Al-Qur`an, Fatayammamu sha`idan thayyiban, dan mereka terus melakukan salat. Namun, saat keduanya menemukan air disaat waktu salat masih ada, maka keduanya berijtihad, sehingga dua orang tersebut berbeda dalam pemahaman dan implementasinya. Salah satu sahabat, mengulangi salat ketika menjumpai air dan masih ada waktu dan sahabat satu lagi tidak mengulangi salat dengan alasan sudah berpedoman kepada Al-Qur`an dan Hadits. [7]
Kedua sahabat tersebut menghadap Rasulullah Saw, menanyakan hasil ijtihad mereka. Lalu Rasulullah menjawab, bagi yang mengulangi salatnya mendapat dua pahala dan yang tidak mengulangi salat dapat satu pahala. Begitulah indahnya Rasulullah memberi penilaian terhadap dua sahabat yang telah melakukan ijtihad.
Tradisi pada masa shahabat hanya terbatas pada fatwa –fatwa yang difatwakan oleh orang yang ditanya tentang suatu peristiwa. Kereka tidak mengembangkan dan memperluas permasalahan dari apa yang diperlukan saja. Mereka tidak membicarakan pengandaian-pengandaian yang belum terjadi. Bahkan mereka kurang menyenanganinya, karena dikhawatirkan salah dalam penetapan hukumnya, walaupun dibenarkan melalui ijtihad.[8]                       
c. Ijtihad pada Masa Tabi`in dan Tabi`-Tabi`in
            Fukaha periode Tabi`in berbeda dengan Fukaha pada periode sahabat. Para Tabi`in tidak pernah berjumpa dengan Rasulullah Saw sehingga mereka menerima dakwah dan pendidikan dari para sahabat, sedangkan fukaha dimasa Tabi` Tabi`in (Mujtahidin) menerima dakwah dan pendidikan Isalam dari para Tabi`in. Diantara fukaha di masa Tabi`in ialah Said bin Musayyad al-Makhzumi, Ali Bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Muhammad bin Muslim Ibnu Syihab al-Zuhri dan lain-lain. Adapun ahli fiqh (fukaha) di masa Tabi`-Tabi`in yaitu Imam Abu Hanifah (kufah), Imam Malik (Madinah), Imam Syafi`i (Makkah), Imam Ahmad bin hambal (Baghdad).[9]
Pada masa shahabat, orang-orang yang memegang peranan dalam memperkembangkan hukum Islam hanya para shahabat saja, akan tetapi setelah masa shahabat berakhir, maka peranan seluruhnya dipegang oleh Tabi`in yang kemudian dilanjutkan oleh Tabi` Tabi`in sebagai pewaris ilmu-ilmu shahabat.    Periode Tabi`in dimulai dari masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sofyan dan berakhir pada awal abad II H, seiring dengan berakhirnya dinasti Umayah. Sedangkan periode Tabi` Tabi`in dimulai kurang lebih dengan dimulai berkuasa Abu Abbas ( Pendiri Dinasti Abbasiyyah).
            Masa Tabi`in dan Tabi` Tabi`in atau masa mujtahidin dikenal dengan fase pembinaan dan pembukuan hukum Islam yang berlangsung kurang lebih 250 tahun lamanya. Fase ini disebut juga fase keemasan, karena hukum Islam pada masa ini mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat. Penulisan dan pembukuan terhadap hukum Islam dengan giat dilakukan. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan hukum Islam berkembang pesat masa Tabi`in adalah daerah kekuasaan Islam telah luas, karya-karya dari masa sebelumnya dan muncul tokoh-tokoh besar [10]
3. Mazhab sebagai hasil Ijtihad
Mazhab adalah hasil ijtihad seorang imam mujtahid Mutlak tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath. Karena mazhab merupakan hasil dari ijtihad, maka bermazhab merupakan mengikuti hasil ijtihad  seorang imam mujtahid yang lebih diyakini. Mengikuti salah satu mazhab tentu hal yang sangat wajar dilakukan karena terbatasnya kemampuan ilmu yang kita miliki sebagaimana yang dimilili para imam mujtahid.
Salah satu problem besar yang dihadapi oleh umat Islam yaitu Ikhtilaf atau perbedaan. Perbedaan umat mencakup bidang fiqh/mazhab politik, pemikiran, akhlak. Indonesia, keempat jenis ikhtilaf di atas sudah ada. Namun yang paling dominan dalam menyebabkan lahirnya perpecahan adalah perbedaan dalam  bidang fiqh. Namun belakangan perpecahan ini merambah ke bidang pemikiran sudah mulai ramai bermunculan di mayarakat.
Oleh karenanya sebagai strategi agar tidak sampai mengakibatkan perpecahan, para ulama Mukhlish sejak dahulu berusaha melakukan perluasan pemahaman wawasan perbandingan mazhab. Memahami perbandingan mazhab akan menghilangkan jiwa ujub ( Membanggakan diri), kibr ( Sombong), ananiyah ( keakuan dan egois) sehingga memiliki jiwa tasamuh ( toleransi), menghormati orang lain. Dengan demikian, ukhuwah Islamiyah  tidak akan retak hanya karena perbedaan mazhab dan pemikiran namun yang perlu dipertegas adalah bahwa ikhtilaf berbeda dengan iftirak. Ikhtilaf berarti perbedaan pendapat, sedangkan iftirak berarti perpecahan yang dapat melahirkan firkah-firkah (golongan-golongan). [11]
            Perbedaan pendapat hasil ijtihad dalam bidang fikh dikalangan ulama/imam Mujtahid tidaklah menjadi sebuah urusan yang besar, dikarenakan imam yang empat tersebut sama-sama merujuk kepada Al-Qur`an dan Hadits serta Ijma` dan Qiyas. Namun perbedaan dalam hal beraqidah, telah menjadi polemik yang sangat berkepanjangan dalam sejarah Islam sampai sekarang.
            Peluang untuk berijtihad dibuka selebar-lebarnya, namun ijtihad tetap dibatasi dengan beberapa kriteria. Dr. Yusuf Qardhawi menyebutkan tiga tingkatan kriteria dalam ijtihad, yaitu:
1. Dharuriyah (Primer), yaitu hal-hal yang penting yang harus dipenuhi untuk kelansungan hidup manusia. Bila hal tersebut tak terpenuhi maka akan terjadi kerusakan, kerusuhan dan kekacauan, Misalnya demi memelihara jiwa, agama, harta, akal dan keturunan.
2. Hajjiyat (sekunder), yaitu hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia dalam hidupnya. Bila hal tersebut tak terpenuhi,maka manusia akan selalu dihinggapi kesulitan dan kesempitan. Misalnya memberikan rukhsah (keringanan) dalam kesempitan dan kesulitan.
3. Taksinat, yaitu hal-hal pelengkap yang terdiri atas kebiasaan dan akhlak yang baik.[12]
            Jiwa ketiga tingkatan kriteria ijtihad itu merupakan pancaran nur Al-Qur`an, yakni rahmat, sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah dalam surat Al-Anbiya ayat 107, sebagai berikut:
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ  
Artinya :” dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. 21:107).[13]
            Tujuan Allah mengutus Nabi Muhammad yaitu sebagai rahmat bagi sekalian alam, pemberi kabar gembira dan kedamaian. Siapa saja yang berpegang teguh kepada Al-Qur`an dan Hadist, Allah jamin tidak sesat selamanya. Berpegang teguh disini artinya menjadikan Al-Qur`an dan Hadist sebagai pedoman dalam kehidupan. Demikian juga para Imam Mujtahid menjadikan Al-Qur`an dan Hadist sebagai sumber rujukan hukum yang utama.
            Tradisi Ijtihad antara Imam Mujtahid yang empat terdapat persamaan dan perbedaan dalam cara-cara menggali hukum dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi. Persamaan dalam memakai dan mempergunakan Al-Qur`a untuk menjadi dasar hukum. Setiap beliau yang berempat ini sama halnya, yakni mula-mula sekali melihat dan menari hukum dalam Al-Qur`an. Kalau dalam satu masalah yang terjadi ada hukumnya dalam Al-Qur`an,syukur, tetapi kalau tidak ada maka beliau-beliau itu pindah kepada yang kedua, yaitu Hadits / Sunnah Rasul.
            Tidak ada dari Imam yang berempat ini yang enggan memakai Hadits untuk menjadi dasar hukum, karena dalam Al-Qur`an banyak sekali ayat – ayat yang menyuruh untuk mengikut Allah dan Rasul. Mereka sepakat bahwa barang siapa yang tidak mau mengikut Rasul, maka orang itu kafir,  diluar dari lingkungan Islam. Hanya karena situasi Hadits berbeda dengan situasi Al-Qur`an yakni Al-Qur`an sudah termaktub sedangkan Hadits belum termaktub, melainkan terletak di dada para Ulama dan pindah dari yang satu kepada yang lain. Maka dalam cara memakai Hadits itu terdapat perbedaan pendapat antara Imam yang empat tersebut, yaitu:
a. Imam Hanafi berpendapat bahwa Hadits yang akan dipakai menjadi dasar hukum, haruslah Hadits yang kuat saja, yang tinggi derajat sahihnya bahkan lebih baik yang mutawatir ( yang banyak orang merawikannya). Kalau tidak ada Hadits yang macam itu lebih baik pindah saja “ra`yi” kepada qiyas, karena mengambil dasar hukum dengan pendapat (qiyas) lebih terjamin kebenarannya dari mengambil dasar hukum dengan Hadits-hadits yang diragukan dan kurang tepat.
b. Imam Maliki berpendapat bahwa dasar hukum yang kedua adalah Hadits, sesuai dengan pendapat imam Hanafi. Tetapi kalau umpamanya berlawanan sebuah Hadits dengan “amalan orang Madinah”, maka yang didahulukan memakainya ialah “amalan orang Madinah”
c. Imam Syafi`i Rhl. Berpendapat bahwa hadits-hadits diutamakan pengambilannya, baik dibanding dengan “Ra`yi” maupun dibanding dengan “amal perbuatan orang Madinah”. Ra`yi atau pendapat begitu juga dengan amal ahli Madinah tidak laku kalau bertentangan dengan Hadits.
d. Imam Hambali berpendapat, bahwa kalau tidak terdapat hukum sesuai dengan Al-Qur`an. Maka carilah dalam Hadits Nabi, sekali lagi Hadits Nabi. Andaikata ada pendapat atau perbuatan dari sahabat Nabi, dari Tabi`in atau dari siapapun yang menentang Hadits, maka pendapat atau amal orang itu tidak dihiraukan. Yang dipegang adalah hadits. [14]
                                                          
C. Kesimpulan
            Tradisi berijtihad telah ada semenjak Rasulullah Saw terhadap persoalan atau kejadian-kejadian yang belum turun wahyu dari Allah. Rasulullah menjawab setiap persioalan dan kejadian yang dialami para sahabat dengan turunnya wahyu Allah mengenai hal tersebut dengan perantaraan Malaikat Jibril. Pada masa Rasulullah juga para sahabat sudah ada yang berijtihad, jika sahabat sedang jauh dengan Rasulullah.
            Selanjutnya ijtihad terus terpelihara pada masa sahabat, dengan hafalan Al-Qur`an dan hadits para sahabat berijtihat terhadap suatu masalah yang mereka alami. Demikian juga para Tabi`in dan Tabi`-Tabi`in yang mana saat itu telah muncul beragam perkembangan pengetahuan, luasnya wilayah, muncul tokoh-tokoh hebat menjadikan suasana saat itu luar biasa dalam hal berijtihad untuk mengeluarkan hukum-hukum yang dibutuhkan saat itu.
Dalam sejarah telah muncul 4 Imam Mujtahid Mutlaq yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi`i dan Imam Hambali. Selain itu juga ada mujtahid yang lain seperti mujtahid fil-mazhab, mujtahid fil-masa`il dan mujtahid muqayyad. Para mujtahid ini adalah mengikuti kepada imam Mujtahid Mutlaq. Para Imam Mujtahid tersebut telah menorehkan kemampuannya masing-masing yang luar biasa sebagai jalan/pegangan hidup generasi sesudahnya atau di kenal dengan istilah mazhab. Ada kebesaran hati tersendiri diantara Imam Mujtahid, yang mana beliau tidak menyalahkan satu sama lain. Jika ada pendapat beliau yang tidak sesuai dengan Al-Qur`an dan Hadits boleh ditinggalkan dan mengambil pendapat yang lebih sesuai.
D. Saran-saran
                Semoga makalah yang singkat ini bisa menjadi bahan renungan buat penulis sendiri dan rekan-rekan semua. Makalah ini jauh dari sempurna sehingga penulis mengharapkan masukan yang membangun dari dosen pengampu dan rekan-rekan mahaiswa semuanya

                                                                                                                                                                                                           

           








[1] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, ( Jakarta: Raja Grafindo, 2002) Hal. 33
[2] Achmad Sunarto, Kamus Lengkap Al-Fikr, ( Rembang: Halim Jaya, 2002) Hal. 104
[3] Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung : Alma`rif, 1986) Hal. 373
[4]  M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Hal. 49
[5] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Hal. 62.
[6] Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Hal. 375
[7]  Muchtar Adam, Dinamika Perbandingan Mazhab, ( Bandung: Makrifat, 2013) Hal. 26.
[8]  M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Hal. 68
[9]  Muchtar Adam, Dinamika Perbandingan Mazhab, Hal. 30
[10]  M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Hal. 81.
[11] Muchtar Adam, Dinamika Perbandingan Mazhab, Hal. 10
[12]  Muchtar Adam, Dinamika Perbandingan Mazhab, Hal. 156
[13] Mahmud Yunus, Tafsir Qur`an Karim ( Jakarta : Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008) Hal. 480
[14] Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi`i, ( Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2007 ) Hal. 139

No comments:

Post a Comment